Illegal Fishing: Rugi 50 Trilyun dan Kita Biasa Saja

Senin, 15 April 201310komentar


rugi 50 T pertahun
Jika ada satu negara, karena praktek Illegal Fishing dirugikan hingga 50 Trilyun Rupiah setiap tahunnya dan bersikap anteng seperti bukan kerugian besar mungkin hanya negara kita. Maklum, negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, dengan kekayaan hayati laut yang melimpah ini mungkin merasa tidak pernah membei makan ikan – ikan dilaut atau justru merasa sangat rugi harus mengeluarkan anggaran untuk membuat program dan sistem keamanan laut dan membiarkan 50 Trilyun omset Illegal Fishing itu terjadi dari tahun ke tahun.

Atau mungkin kita sudah lupa, jika nenek  moyang dulu legenda abadi dengan nama nenek moyangku pelaut dengan semangat di dada sekali layar terkembang pantang surut langkah ke belakang. Mungkin juga kita tidak menyadari seperti banyak orang dari negara lain yang justru mengenal betul jika perairan Indonesia adalah surga ternyaman bagi tumbuh kembang koloni ikan – ikan bernilai ekonomi tinggi Sehingga dari pada cape melaut, lebih baik tanam rumput laut dekat – dekat pantai yang gampang di panen walaupun harga ikan ratusan kali lipat lebih tinggi dari komoditi rumput laut.


illegal fishing dgn kapal besar


Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan Australia, Timor Leste, Papua Nugini, Palau, Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan India. Wilayah laut Indonesia mencapai 5.877.879 kilometer persegi. The most, perairan kita penuh dengan ikan. Saking penuhnya dengan ikan, ribuan kapal Illegal Fishing bebas berlalu lalang tanpa halangan patroli yang berarti untuk mengeruk ikan – ikan terbaik didunia yang ada di perairan Indonesia.

hasil ikan dari Indonesia


Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia memperkirakan illegal fishing merugikan negara hingga Rp 30 triliun (sekitar 3,11 milyar dolar) per tahun. Tapi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau KIARA percaya angka yang sebenarnya lebih dari 50 trilyun rupiah (5,2 miliar dolar). Apa yang dikatakan Direktur Eksekutif KIARA, Muhammad Riza Damanik: "Kerugian 30 triliun rupiah, itu hanya didasarkan pada nilai pokok ikan, tidak termasuk kerugian yang dihitung berdasarkan  pendapatan pajak dan kerusakan ekosistem. "

ikan tuna Indonesia

patroli Indonesia dan illegal fishing


Apapun yang sudah terjadi, minimal ada satu pertanyaan yang harus kita jawab bersama: Faktor apa yang membuat kita anteng – anteng saja mengalami kerugian 50 Trilyun per tahun akibat Illegal Fishing? Apakah karena nelayan kita sudah makmur dan sejahtera dan serba kecukupan? Apakah karena tidak ada industri perikanan yang mampu mengelola bisnis skala internsional dengan kemampuan supply atas dasar demand konsumsi ikan dunia yang memang besar sehingga tidak merasa perlu memanfaatkan ikan diperairan sendiri? Apakah tidak ada anak bangsa yang mampu dan layak untuk mengurus laut dan hasil laut dari sektor kebijakan, strategi, manajemen, produksi, mekanisasi dan lain – lain dari level menteri, pengusaha, hingga patroli pengawas laut? Atau apakah saya yang parno, sok nasionalis dan berpikir neko – neko pake mikirin illegal fishing segala? Hmm tauk ah...


Konsultan Kreatif
Share this article :

+ komentar + 10 komentar

15 April 2013 pukul 17.46

Nenek moyang kita yang terhormat memang pelaut, tetapi sudah sejak lama mereka menetap di daratan! Ada beberapa hipotesa yang bisa dikemukakan untuk menerangkan keputusan yang mereka ambil untuk meninggalkan dunia kelautan. Alasan utama barangkali mereka menyadari bahwa hidup sebagai pelaut bukanlah hidup yang mudah,yang jelas banyak resiko, hasil tangkapan tidak pasti, sehingga rejeki tidak pasti. Demi masa depan anak dan cucu mereka, maka secara bijaksana mereka memutuskan untuk menetap di daratan, dan mengolah tanah menjadi petani. Masalahnya, mereka lupa mengajari kita anak cucunya semangat bahari, yang konon kabarnya membuat mereka berjaja menjelajah samudera. Dan maaf seribu maaf, parahnya, nenek moyang kita yang terhormat meninggalkan cerita dan hikayat yang menyeramkan tentang samudera, misalnya Nyai Roro kidul, dsb. Semua itu dengan satu tujuan agar anak cucunya menetap selamanya di bumi pilihan mereka dan meninggalkan secara definitif keinginan menjadi pelaut.
Tinggalah anak cucu pelaut yang tersohor itu, kita bangsa indonesia kontemporain, bak pohon beringin yang meskipun besar dan rindang tetapi terpaku di bumi tinggalan nenek moyang, yang meskipun subur dan luas, tetapi tidaklah seluas dan sekaya samudera yang mengelilingi kita . Kita menjadi kerdil dalam berpikir,kehilangan wawasan dan sifat ingin tahu. Kekerdilan jiwa ini tercermin dalam pendidikan anak-anak : Banyak anak Indonesia yang tidak bisa berenang, tidak bisa menyelam, tidak pernah berlayar, tidak pernah mendayung perahu, tidak pernah naik kapal laut, dst... karena semua itu dianggap oleh orang tuanya tidak perlu. Berapa banyak anak-anak Indonesia yang dengan bangga bercita-cita menjadi pelaut? Menjadi nelayan? Menjadi arsitek perkapalan? Membangun galangan kapal? Menjadi ahli biologi kelautan?
Bagaimana mungkin kita berani mengarungi samudera? Bagaimana mungkin kita mampu menyelidiki kekayaan samudera? Bagaimana mungkin kita menghormati samudra ?. Sekali petani tetaplah petani. Kita biasakan anak-anak makan daging hasil pertanian yang terpaksa kita beli dari Negara lain. Berapa kali seminggu kita makan Ikan dan produksi laut segar? Kita tidak biasakan anak-anak kita makan produksi hasil laut kita, karena hasil tangkapan kita langka, dan mahal untuk kita konsumsi sendiri! Sebagai petani di tepi pantai kita jaya : kita tanam rumput laut, kita kembangkan tambak udang dan tambak ikan, kita tangkap ikan hias diperairan yang dangkal dengan bahan peledak, kita kembangkan wisata pantai (bedakan dengan wisata bahari!!) semua itu untuk kita jual ke luar negari. Parahnya kita jadikan lautan sebagai tempat pembuangan sampah terbesar, termurah dan termudah. Konsekuensinya kita biarkan nelayan dari negara lain mengeruk kekayaan samudera kita yang kita tidak ketahui besarnya.
Kekerdilan wawasan inilah yang menurut hemat saya menjadikan aparat Negara yang mencerminkan sifat-sifat dan budaya bangsa membiarkan setiap tahunnya 50 trilyun rupiah menguap. Pemerintah tidak memandang perlu memajukan industri perkapalan dalam negeri, cukup membeli kapal-kapal bekas yang tidak lagi setangguh kapal baru untuk menjaga perariran nasional, tidak memandang perlu mengembangkan industri pengelohan ikan dan hasil tanggakapan nelayan, sehingga jutaan nelayan kita bekerja dengan teknik dan fasilitas persis seperti jaman pertama kalinya nenek moyang kita pendarat di bumi Indonesia. Mungkin saya agak berlebihan mengenai pokok terakhir ini, tetapi mungkin juga tidak.

15 April 2013 pukul 22.35

I don't think our government closes their eyes (anteng) on this issue, our navy has been deployed to various fishing areas in our country to combating any fishing ships without any legal permits from our government.

16 April 2013 pukul 00.46

Karena faktor lagu "Kolam susu nya Koes Plus" dimana lautan kita adalah kolam susu ... kurang nya rasa bersyukur atas karunia TUHAN atas berlimpahnya segala yang ada di Lautan Indonesia .... semoga kelak anak cucu kita bisa menggali apa yang terpendam di Lautan Indonesia ..aamiin

Anonim
17 April 2013 pukul 14.13

Tau sama tau. Itulah kenapa anteng

19 April 2013 pukul 02.45

Patut di duga ada oknum di indonesia yg menikmati ilegak fishing tersebut. Karena ada unsur pembiaran dari aparat terkait. Bandingkan australian dan malaysia yang sangat kekta mengawasi perairannya. Perhatian our government to this issue tidak seperti diharapkan sehingga patut di duga hal demikian. Meski telah dibentuk kementrian kelautan.

19 April 2013 pukul 02.46

nanti kalau di tekan kementrian kelautannya, pasti akan di munculkan issue kurang lengkapnya sarana dan prasarana untuk mengawasi lautan kita yang luas.
dan nantinya jika di bahas lebih lanjut malah akan membuat pengalihan issue existing.

19 April 2013 pukul 02.47

Bukan kita yang anteng, kita gregetan tapi mau melakukan apa?, aparat negara sudah pasif sehingga pembiaran hampir banyak terjadi , IIegal Fishing salah satunya , masih banyak yang terjadi yang bisa kia dengar dan baca di pemberitaan..Illegal Logging, Tambang liar - dari pasir sampai emas, batubara dlsbnya , masih banyak kalau mau disebutkan satu persatu. Alhamdullilah Karena Negara Indonesia Kaya Raya dan diberikan alam yang berlimpah ..... masih bisa bertahan Pak.

19 April 2013 pukul 02.48

Karna jarang pengusaha lokal yg mempunyai fishing company juga membantu menjaga keamanan laut negara RI dan jika ada perusahaan lokal yang mempunyai sitem ketahanan militer yang kuat seperti perusahaan mining asing, otomatis indonesia tidak akan rugi seharusnya pemerintah membrikan soalusi dan dukungan dan atauran keamananan birokratnya dapet uang dari barang indonesia yang di curi asing gmn mau bisa klo kantong2 aja yang di isi tapi pengembangAn perusahaan lokal ga di fasilitasi pemerintah

Anonim
21 September 2013 pukul 12.13

Saya baru dapat masukan minggu lalu dari teman seorang komandan di perbatasan utara indonesia, menyatakan bahwa mereka telah menangkap nelayan" yang menjual ikan di perbatasan dgn kapal luar negeri. Atas pekerjaan ada konglomerat indonesia yang merasa kerugian dan meminta TNI AL, untuk mendisposisikan beliau. Tetapi pemerintah setempat mempertahankan keberanian seorang komandan ini dan dia tetap pada prinsip akan melakukan sweeping terhadap kapal yang mencurigakan.

Anonim
6 April 2016 pukul 19.30

Kita Harus Terus Bergerak Cepat Dan Menjaga Ketat Wilayah Kelautan kita Yg Paling Rapuh Atau Yg Sering Terkena Ilegal Fishing.Di Laut Utara Indonesia Atau Mungkin Pemerintah Indonesia Bisa Berkordinasi Dengan Menteri Kelautan Negara Tetangga. Untuk Memberi Peringatan Kepada Nelayan Negara Tetangga. Mungkim Hanya Itu Pendapat Saya Kalau Ada Salah Kata Atau ada yg Tersinggung Saya Minta Maaf. "KEVIN",BATAM,KEPRI.

Posting Komentar

lazada.com
lazada
 
Support : CBS Consulting | Konsultan Kreatif | Konsultan Kreatif Reviews
Copyright © 2011. Indonesia Minapolitan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger