Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state)
terbesar di dunia. Namun Kepulauan Kecil yang dimiliki Indonesia kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah, terlebih Kepulauan Kecil yang
berbatasan langsung dengan negara tetangga. Padahal potensi Kepulauan Kecil
di Indonesia diperkirakan mencapai 10.000 pulau dari sejumlah 17.508 pulau
(Kusumastanto, 2003). Jika Percepatan Pembangunan Kepulauan Kecil berhasil dikembangkan secara optimal dan
berkelanjutan, Kepulauan Kecil ini bukan saja akan menjadi sumber pertumbuhan
baru, melainkan sekaligus akan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah
dan kelompok sosial.
Bila dibandingkan dengan Jepang, keseriusan Pemerintah
Jepang jauh lebih peduli dalam pengelolaan Kepulauan Kecil daripada
Pemerintah Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan hanya memiliki sekitar 6,325
pulau, Jepang telah memiliki Undang-undang Nasional tentang Pengelolaan
Kepulauan Kecil (terpencil) yang disebut dengan Ritou Shinkouho atau Remote
Islands Development Act (RIDA) sejak tahun 1953 yang kemudian direvisi pada
tahun 1991. Pada dasarnya, RIDA berkonsentrasi pada pulau-pulau yang relatif
dekat dengan daratan induk (mainland) atau pulau-pulau di perairan pedalaman
(Adrianto, 2004).
Lebih lanjut Adrianto (2004) mengungkapkan bahwa untuk
pulau-pulau oseanik (oceanic islands), Jepang memberikan payung hukum
pengelolaan berdasarkan pendekatan wilayah (regions) misalnya untuk Kepulauan
Amami dikeluarkan Undang-undang Pengelolaan Kepulauan Amami (Amami Islands
Development Act, AIDA) pada tahun 1954, Undang-undang Kepulauan Okinawa
(Okinawa Islands Development Act, OIDA) pada tahun 1972 untuk Kepulauan Okinawa
dan Undang-undang Kepulauan Ogaswara (Ogaswara Islands Development Act, AIDA)
pada tahun 1964 untuk Kepulauan Ogaswara (Adrianto and Matsuda, 2004). Latar belakang
terpenting dari pemberlakukan payung hukum pengelolaan pulau-pulau kecil oleh
pemerintah Jepang adalah bahwa pendapatan per kapita penduduk pulau harus
setara dengan penduduk di daratan induk atau paling tidak tidak terlalu jauh
perbedaannya.
Sementara itu, pembangunan pulau-pulau kecil dihadapkan pada
permasalahan akibat karakteristik pulau tersebut.
Beberapa permasalahan pembangunan kepulauan kecil
1.Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan)
menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal. Luas pulau
kecil itu bukan suatu kelemahan jika barang dan jasa yang diproduksi dan
dikonsumsi oleh penghuninya tersedia di pulau yang dimaksud. Akan tetapi,
begitu jumlah penduduk meningkat secara drastis, diperlukan barang dan jasa
dari pasar yang jauh dari pulau itu. Ini berarti mahal.
2.Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi
yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan
transportasi. Hal ini turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di
dunia.
3.Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan,
seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir, dan satwa liar yang pada
gilirannya menentukan daya dukung (carrying capacity) sistem pulau kecil dan
menopang kehidupan manusia, penghuni serta segenap kegiatan pembangunan.
4.Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
(seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di
dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu
karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat. Oleh
karena itu, keberhasilan usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan di lahan
darat suatu pulau, jika tidak dikelola menurut prinsip-prinsip ekologis, dapat
merusak/mematikan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari di sekitar
pulau tersebut.
5.Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan
kegiatan pembangunan. Contohnya, di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa
oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat.
Ini menjadi kendala tersendiri.
Selain dihadapkan pada masalah karakteristik, kepulauan
kecilmemiliki peluang ekonomi yang terbatas khususnya ketika berbicara soal
skala ekonomi (economics of scale). Agar kegiatan ekonomi di kepulauan kecil mendapatkan
skalanya yang sesuai maka pengembangan sektor perdagangan menjadi diperlukan,
walaupun tergantung pula kepada infrastruktur yang ada di kepulauan kecil tersebut.
Adapun kegiatan ekonomi yang memungkinkan untuk dilakukan di kepulauan kecil adalah
kegiatan ekonomi yang terspesialisasi sesuai dengan sumberdaya yang tersedia.
Dalam beberapa hal, specialized economy seperti yang terjadi
untuk kepulauan kecil berdampak positif, khususnya yang terkait dengan konsep
skala ekonomi. Dengan keaneka ragaman spesialisasi ekonomi dari sebuah pulau
kecil, maka semakin meningkat pula tingkat ketahanan ekonomi dari pulau
tersebut dari faktor eksternal sepanjang pengelolaan kegiatan ekonomi tersebut
memperhitungkan tingkat daya dukung pulau secara umum (Hein, 1990 diacu dalam
Adrianto, 2004). Menurut Briguglio (1995) yang diacu Adrianto (2004), ada
beberapa hal yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah kepulauan kecil terkait
dengan ukuran fisik (smallness), yaitu:
1.Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap
komponen impor yang tinggi.
2.Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau.
3.Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor
untuk menggerakkan ekonomi pulau.
4.Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat
spesialisasi tinggi.
5.Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal.
6.Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi.
7.Terbatasnya kompetisi lokal.
8.Persoalan yang terkait dengan administrasi publik.
karakteristik kepulauan kecil yang dilihat dari sifat insularitas
Lebih lanjut, Briguglio (1995) mengungkapkan bahwa
karakteristik penting lain dari kepulauan kecil yang terkait dengan pengembangan
ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas. Kepulauan kecil memiliki tingkat
insularitas yang tinggi karena sebagian besar jauh dari daratan induknya.
Persoalan ekonomi kepulauan kecil yang terkait dengan karakteristik insularitas
ini terutama yang terkait dengan persoalan transportasi dan komunikasi,
lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya kelautan
dan dominasi sektor jasa.
1.Biaya transportasi per unit produk.
2.Ketidakpastian suplai.
3.Volume stok yang besar.
4.Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat
spesialisasi tinggi.
5.Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal.
6.Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi.
7.Terbatasnya kompetisi lokal.
8.Persoalan yang terkait dengan administrasi publik.
Dengan berdasar permasalahan-permasalahan di atas, dalam
menciptakan keseteraan pembangunan kepulauan kecil diperlukan perencanaan yang
terarah dan terintegrasi, sehingga output pembangunan yang dihasilkan menjadi
optimal dan berkelanjutan serta terciptanya pembangunan wilayah kepulauan
terpencil atau terluar dapat sejajar atau paling tidak tidak terlalu
ketinggalan dengan wilayah daratan induk lainnya. Dengan demikian, pentingnya
penyusunan sebuah guideline kebijakan untuk pembangunan kepulauan kecil menjadi
signifikan.
Hal ini dimaksudkan agar pemerintah memiliki kerangka
pemikiran pembangunan kepulauan kecil yang mampu menciptakan proses transformasi
sosial-budaya dan ekonomi, sehingga masyarakat kepulauan kecil benar-benar
diberdayakan. Proses transformasi ini terjadi apabila mainstream kerangka
pembangunan yang dikembangkan melibatkan semua pemangku kepentingan
(stakeholder) yang akan mengelola sebuah pulau-pulau kecil. Hal ini sesuai
dengan pendekatan pembangunan daerah tertinggal sebagaimana yang tertulis dalam
draft awal Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pola Pembangunan
Daerah Tertinggal, yaitu desentralisasi, terpadu, berkelanjutan serta
partisipatif dan inovatif.
Namun demikan, perlu diingat bahwa pendekatan dalam
pengelolaan dan pembangunan kepulauan kecil di Indonesia tidak boleh
digeneralisasi untuk semua pulau, baik dengan wilayah daratan induknya maupun
antar pulau kecil itu sendiri. Pendekatan yang berbeda ini memerlukan pula
sistem dan pola pikir tata kelola yang berbeda pula. Perbedaan sistem dan pola
pikir tata kelola ini telah diadopsi oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen
Kelautan dan Perikanan serta Departemen Keuangan yang kemudian diintegrasikan
dalam kebijakan Bappenas dalam mengatur alokasi anggaran DAU (Dana Alokasi
Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) wilayah administrasi kepulauan baik
provinsi maupun kabupaten/kota kepulauan (Adrianto, 2004).
Sebagai penutup, pembangunan di kepulauan kecilharus
mengedepankan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) sesuai dengan daya
dukung pulau dalam menciptakan pembangunan kepulauan kecil yang berkelanjutan.
Mengingat, kepulauan kecilmemiliki keterbatasan secara geografis (smallnes),
keanekaragaman yang terbatas, dan secara ekologis dan ekonomis rentan terhadap
faktor eksternal. Selain itu, kegiatan ekonomi yang terspesialisasi sesuai
dengan potensi sumberdaya pulau harus menjadi pemikiran bersama agar
menciptakan ketahanan ekonomi pulau dari pengaruh eksternal.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah, terciptanya
kesejajaran pembangunan wilayah kepulauan terpencil atau terluar atau paling
tidak tidak terlalu ketinggalan dengan wilayah daratan induk lainnya, sehingga
pendapatan per kapita penduduk pulau harus setara dengan penduduk di daratan
induk atau paling tidak tidak terlalu jauh perbedaannya.
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Guru Besar Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Posting Komentar