Pages

Kamis, 28 Februari 2013

Percepatan Pembangunan Kepulauan Kecil



Guru Besar Ilmu Kelautan IPB
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia. Namun Kepulauan Kecil yang dimiliki Indonesia kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, terlebih Kepulauan Kecil yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Padahal potensi Kepulauan Kecil di Indonesia diperkirakan mencapai 10.000 pulau dari sejumlah 17.508 pulau (Kusumastanto, 2003). Jika Percepatan Pembangunan Kepulauan Kecil berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, Kepulauan Kecil ini bukan saja akan menjadi sumber pertumbuhan baru, melainkan sekaligus akan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah dan kelompok sosial.

Bila dibandingkan dengan Jepang, keseriusan Pemerintah Jepang jauh lebih peduli dalam pengelolaan Kepulauan Kecil daripada Pemerintah Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan hanya memiliki sekitar 6,325 pulau, Jepang telah memiliki Undang-undang Nasional tentang Pengelolaan Kepulauan Kecil (terpencil) yang disebut dengan Ritou Shinkouho atau Remote Islands Development Act (RIDA) sejak tahun 1953 yang kemudian direvisi pada tahun 1991. Pada dasarnya, RIDA berkonsentrasi pada pulau-pulau yang relatif dekat dengan daratan induk (mainland) atau pulau-pulau di perairan pedalaman (Adrianto, 2004).

Lebih lanjut Adrianto (2004) mengungkapkan bahwa untuk pulau-pulau oseanik (oceanic islands), Jepang memberikan payung hukum pengelolaan berdasarkan pendekatan wilayah (regions) misalnya untuk Kepulauan Amami dikeluarkan Undang-undang Pengelolaan Kepulauan Amami (Amami Islands Development Act, AIDA) pada tahun 1954, Undang-undang Kepulauan Okinawa (Okinawa Islands Development Act, OIDA) pada tahun 1972 untuk Kepulauan Okinawa dan Undang-undang Kepulauan Ogaswara (Ogaswara Islands Development Act, AIDA) pada tahun 1964 untuk Kepulauan Ogaswara (Adrianto and Matsuda, 2004). Latar belakang terpenting dari pemberlakukan payung hukum pengelolaan pulau-pulau kecil oleh pemerintah Jepang adalah bahwa pendapatan per kapita penduduk pulau harus setara dengan penduduk di daratan induk atau paling tidak tidak terlalu jauh perbedaannya.
Sementara itu, pembangunan pulau-pulau kecil dihadapkan pada permasalahan akibat karakteristik pulau tersebut.

Beberapa permasalahan pembangunan kepulauan kecil 


1.Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal. Luas pulau kecil itu bukan suatu kelemahan jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuninya tersedia di pulau yang dimaksud. Akan tetapi, begitu jumlah penduduk meningkat secara drastis, diperlukan barang dan jasa dari pasar yang jauh dari pulau itu. Ini berarti mahal.

2.Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi. Hal ini turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia.

3.Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir, dan satwa liar yang pada gilirannya menentukan daya dukung (carrying capacity) sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia, penghuni serta segenap kegiatan pembangunan.

4.Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat. Oleh karena itu, keberhasilan usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan di lahan darat suatu pulau, jika tidak dikelola menurut prinsip-prinsip ekologis, dapat merusak/mematikan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari di sekitar pulau tersebut.

5.Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Contohnya, di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat. Ini menjadi kendala tersendiri.

Selain dihadapkan pada masalah karakteristik, kepulauan kecilmemiliki peluang ekonomi yang terbatas khususnya ketika berbicara soal skala ekonomi (economics of scale). Agar kegiatan ekonomi di kepulauan kecil mendapatkan skalanya yang sesuai maka pengembangan sektor perdagangan menjadi diperlukan, walaupun tergantung pula kepada infrastruktur yang ada di kepulauan kecil tersebut. Adapun kegiatan ekonomi yang memungkinkan untuk dilakukan di kepulauan kecil adalah kegiatan ekonomi yang terspesialisasi sesuai dengan sumberdaya yang tersedia.

Dalam beberapa hal, specialized economy seperti yang terjadi untuk kepulauan kecil berdampak positif, khususnya yang terkait dengan konsep skala ekonomi. Dengan keaneka ragaman spesialisasi ekonomi dari sebuah pulau kecil, maka semakin meningkat pula tingkat ketahanan ekonomi dari pulau tersebut dari faktor eksternal sepanjang pengelolaan kegiatan ekonomi tersebut memperhitungkan tingkat daya dukung pulau secara umum (Hein, 1990 diacu dalam Adrianto, 2004). Menurut Briguglio (1995) yang diacu Adrianto (2004), ada beberapa hal yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah kepulauan kecil terkait dengan ukuran fisik (smallness), yaitu:

1.Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap komponen impor yang tinggi.
2.Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau.
3.Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau.
4.Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi.
5.Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal.
6.Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi.
7.Terbatasnya kompetisi lokal.
8.Persoalan yang terkait dengan administrasi publik.

karakteristik kepulauan kecil yang dilihat dari sifat insularitas


Lebih lanjut, Briguglio (1995) mengungkapkan bahwa karakteristik penting lain dari kepulauan kecil yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas. Kepulauan kecil memiliki tingkat insularitas yang tinggi karena sebagian besar jauh dari daratan induknya. Persoalan ekonomi kepulauan kecil yang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya kelautan dan dominasi sektor jasa.

1.Biaya transportasi per unit produk.
2.Ketidakpastian suplai.
3.Volume stok yang besar.
4.Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi.
5.Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal.
6.Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi.
7.Terbatasnya kompetisi lokal.
8.Persoalan yang terkait dengan administrasi publik.

Dengan berdasar permasalahan-permasalahan di atas, dalam menciptakan keseteraan pembangunan kepulauan kecil diperlukan perencanaan yang terarah dan terintegrasi, sehingga output pembangunan yang dihasilkan menjadi optimal dan berkelanjutan serta terciptanya pembangunan wilayah kepulauan terpencil atau terluar dapat sejajar atau paling tidak tidak terlalu ketinggalan dengan wilayah daratan induk lainnya. Dengan demikian, pentingnya penyusunan sebuah guideline kebijakan untuk pembangunan kepulauan kecil menjadi signifikan.

Hal ini dimaksudkan agar pemerintah memiliki kerangka pemikiran pembangunan kepulauan kecil yang mampu menciptakan proses transformasi sosial-budaya dan ekonomi, sehingga masyarakat kepulauan kecil benar-benar diberdayakan. Proses transformasi ini terjadi apabila mainstream kerangka pembangunan yang dikembangkan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang akan mengelola sebuah pulau-pulau kecil. Hal ini sesuai dengan pendekatan pembangunan daerah tertinggal sebagaimana yang tertulis dalam draft awal Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pola Pembangunan Daerah Tertinggal, yaitu desentralisasi, terpadu, berkelanjutan serta partisipatif dan inovatif.

Namun demikan, perlu diingat bahwa pendekatan dalam pengelolaan dan pembangunan kepulauan kecil di Indonesia tidak boleh digeneralisasi untuk semua pulau, baik dengan wilayah daratan induknya maupun antar pulau kecil itu sendiri. Pendekatan yang berbeda ini memerlukan pula sistem dan pola pikir tata kelola yang berbeda pula. Perbedaan sistem dan pola pikir tata kelola ini telah diadopsi oleh Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan serta Departemen Keuangan yang kemudian diintegrasikan dalam kebijakan Bappenas dalam mengatur alokasi anggaran DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) wilayah administrasi kepulauan baik provinsi maupun kabupaten/kota kepulauan (Adrianto, 2004).

Sebagai penutup, pembangunan di kepulauan kecilharus mengedepankan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) sesuai dengan daya dukung pulau dalam menciptakan pembangunan kepulauan kecil yang berkelanjutan. Mengingat, kepulauan kecilmemiliki keterbatasan secara geografis (smallnes), keanekaragaman yang terbatas, dan secara ekologis dan ekonomis rentan terhadap faktor eksternal. Selain itu, kegiatan ekonomi yang terspesialisasi sesuai dengan potensi sumberdaya pulau harus menjadi pemikiran bersama agar menciptakan ketahanan ekonomi pulau dari pengaruh eksternal.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah, terciptanya kesejajaran pembangunan wilayah kepulauan terpencil atau terluar atau paling tidak tidak terlalu ketinggalan dengan wilayah daratan induk lainnya, sehingga pendapatan per kapita penduduk pulau harus setara dengan penduduk di daratan induk atau paling tidak tidak terlalu jauh perbedaannya.


Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Guru Besar Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Sabtu, 23 Februari 2013

Program Revolusi Biru dan Minapolitan harus paham Karakter Lokal


Kekayaan laut anugerah Tuhan
Program Revolusi Biru dan Minapolitan harus paham karakter lokal adalah kuci keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia. Kenapa tema Program Revolusi Biru dan Minapolitan harus paham Karakter Lokal ini menjadi penting, karena setelah sekian lama program revolusi biru dan minapolitan yang dicanangkan belum mencapai tahapan target seperti yang diharapkan oleh masyarakat, terutama masyarakat kelompok pesisir dan kepulauan kecil yang seharusnya paling merasakan manfaat dari program revolusi biru dan minapolitan.

program revolusi biru dan minapolitan lahir dari pembelajaran tentang karakter bangsa, sehingga Program Revolusi Biru dan Minapolitan harus paham Karakter Lokal sangat relevan dan menjadi mata rantai pemahaman dasar yang melandasi strategi dan kebijakan program revolusi biru dan minapolitan yang giat di canangkan pemerintah baru – baru ini.

Tema Program Revolusi Biru dan Minapolitan harus paham Karakter Lokal berangkat dari kenyataan bahwa sekian lama bangsa ini mengadopsi sukses pembangunan dan modernisasi ala bangsa-bangsa kontinental. Sekian lama juga khazanah laut kita “terbiar” dan memberi manfaat luar biasa justru untuk bangsa lain. Sekian lama juga, hingga hari ini Nelayan bersanding dengan petani sebagai kelompok mayoritas paling marjinal yang menikmati hasil lezat kue pembangunan.

Program Revolusi Biru dan Minapolitan harus paham Karakter Lokal adalah kelanjutan dari upaya reorientasi konsep pembangunan nasional dari fokus daratan ke fokus kelautan. Banyak pelajaran penting dari  kegagalan konsep pembangunan fokus daratan yang jangan sampai terulang dalam implementasi program Revolusi Biru dan minapolitan kali ini. Salah satunya adalah perlunya peningkatan kapasitas kreatif pemerintah pusat dalam memberikan anggaran berbasis program kepada otoritas daerah.

Tulisan Program Revolusi Biru dan Minapolitan harus paham Karakter Lokal ini berangkat dari pengalaman saya sebagai konsultan percepatan pembangunan di satu kabupaten kepulauan. Bupati meminta saya untuk menyusun sebuah proposal permohonan anggaran untuk pengembangan rumput laut yang memang sudah ada pos nya sebagai bagian dari program revolusi biru dan minapolitan pemerintah pusat sebesar 28 Milyar. 

Tentu saja, proposal harus se visible mungkin dan berdasarkan observasi dan data yang mendukung. Alhasil, ketika melakukan observasi, saya menemukan fakta baru yang menarik bahwa yang lebih penting untuk diajukan ke pusat sebagai bagian dari program revolusi biru dan minapolitan kabupaten kepulauan tersebut bukanlah pengembangan rumput laut.

Melihat potensi dasar keunikan karakter lokal, saya akhirnya membuat dua proposal program revolusi biru dan minapolitan berbasis wilayah, yang pertama tetap rumput laut, yang kedua adalah pembangunan infrastruktur Fishery Industry berbasis koperasi. Yang pertama tetap 28 Milyar, yang ke dua hanya 10 Milyar. Yang pertama berdasarkan rencana strategis pemerintah daerah yang kedua berdasarkan pengamatan dan pendekatan strategic business plan.

Dasar dari proposal pembangunan fishery industri berbasis koperasi ini sebenarnya sederhana saja. Hasil dari pengamatan, saya melihat dengan gamblang potensi bidang Perikanan dan peluang bisnis yang sangat besar.

Kabupaten Kepulauan tersebut mempunyai potensi perikanan yang luar biasa besar. Letak geografis yang berada di wilayah khatulistiwa dengan susunan kepulauan yang kaya akan berbagai endemen organik laut dengan nilai ekonomi yang tinggi. Perairannya juga kaya akan plangton dan ikan ikan kecil yang menjadi lumbung makanan bagi ikan ikan besar seperti Tuna, Hiu dan ikan Layar yang bermigrasi dari laut pasifik ke laut New Zealand, sehingga banyak perusahaan ikan raksasa dari Jepang, Taiwan dan Filipina melakukan Ilegal Fishing di perairan tersebut dengan nilai sebesar 8 Trilyun rupiah pertahunnya. Bandingkan dengan pendapatan daerah yang hanya 100 Milyar pertahun.

Kelemahan infrastruktur, modal, procurement, teknologi distribusi dan akses pasar menyebabkan potensi yang besar tersebut menjadi mubazir dan dimanfaatkan pihak lain. Sehingga diperlukan terobosan terobosan yang salah satunya adalah membangun industri perikanan yang dikelola melalui pemberdayaan koperasi nelayan. Peluang bisnis yang bisa diciptakan: Pembelian Hasil Tangkapan Nelayan (Spot & Cash), Armada Semut Penangkapan Ikan, Mendirikan Pabrik Es, Mendirikan Fasilitas Penyimpanan Cold Storage dan Menyiapkan Rumpon Ikan.

Dari latar belakang tersebut, Program Revolusi Biru dan Minapolitan harus paham Karakter Lokal . Tidak bisa di generalisasi walaupun sudah diatur program pembangunan revolusi biru dan minapolitan ini berbasis wilayah seperti yang bisa kita baca di berbagai sosialisasi kementrian kelautan dan perikanan. Ikhtisar program pembangunan fishery industry hanya memerlukan setengah anggaran tetapi dalam perhitungan analisa rugi laba, memberi hasil yang lebih besar dan return yang lebih cepat dari program budidaya rumput laut untuk kabupaten tersebut.

Kenapa demikian? Ikan diperairan tersebut adalah anugerah Tuhan yang luar biasa. Tidak perlu dirawat dan diberi makan. Ikan – ikan bernilai tinggi datang sendiri. Yang diperlukan adalah peningkatan kapasitas kreatif pengelola program revolusi biru dan minapolitan di pusat dan di daerah. Demikian sedikit pengalaman yang mendasari opini saya, kenapa Program Revolusi Biru dan Minapolitan harus paham Karakter Lokal.

Kamis, 21 Februari 2013

Small Island Community Developing Management in Indonesia


catch by small island community
Allow me to presence at the small islands community developing management in Indonesia open share. It is very heartening to witness the global of participants today to address the issues related to the small islands community developing management in Indonesia.  As for the  one of important theme raised  of Indonesia Minapolitan Blog is about. 

The small islands community developing management in Indonesia underline the fact that  Indonesia is one of the largest archipelagic state in the world that has 17,480 islands, most of them are small islands (<2000 km2) and uninhabited. 

Beside That, most small islands community in Indonesia are still facing isolation, which make them vulnerable and victims of enormous human activities and environmental pressures. Their economies are also heavily dependent on narrow resource based with limited infrastructures to fulfill the necessities of small island community in Indonesia, let alone provide them access to international markets.

The small islands community in Indonesia are also vulnerable to natural and environmental disasters such as earthquake, tsunami, hurricane and others with limited capacity to respond and recover. This is further exacerbated by the effects of global warming which is very alarming. The cost of losing the richness and variety of cultures as well as flora, fauna, animal and marine life on the small islands under threat is a price too expensive for us and for the world to pay. 

Indonesia Minapolitan Blog stressed the need for national strategies for sustainable the small islands community in Indonesia and marine ecosystem goods and services that have significant potential for addressing the adverse effects of climate change.

The 2010 United Nation has declared as the International Year of Biodiversity (IYB). Throughout the year, many initiatives will be organized to disseminate information, promote the protection biodiversity and encourage organizations, institutions, companies and individuals to take direct action to reduce the constant loss of biological diversity worldwide. 

In this regards, Indonesia Minapolitan blog try to share and intermediating public oppinion around the world which would provides some opportunities for such strategic discussions and operationable solutions for the shake of sustainability of the small islands community developing management in Indonesia and marine affairs in providing goods and services for the welfare of small islands community in Indonesia.

Audiences,I sincerely hope that what we begin today will reap positive fruits in the future. It is my belief that we should work hard, steadfastly and persistently to cooperate in our endeavours and that we should take action now. 

We wish that every one agree to participating and contributing by share anykind of ideas, information also donation for implementing stronger system of small islands community in Indonesia. We also call to all of participants to gathering in coordination and implement a stronger system of the small islands community developing management in Indonesia


Minggu, 17 Februari 2013

Creative Governance Program for Small Island Community Better Change


small island community dynamic life
Why Creative  Governance Program for Small Island Community Better Change is needed? To some extents the Small Island Community has traditional - local management as a reflection of Small Island Community’s condition, can be altered because the Small Island Community have a dynamic life toward the existing development. Creative Governance program realized that the growing demand for public services in many places increased which met local customary law authorities. The need of other kinds of infrastructures as sea transportation, Jetti, proper road around island, electricity, fresh water, much better shelters by Creative Governance.

Creative Governance program for Small Island Community Better Change meaning wisely penetration of Creative Governance program as ideal thinking through education, dissemination and others  creative governance program according to local dynamic life.


The acceptance of change could be exist depend on the decision of the small  island community it self. The process of acceptance will be done not by the decision of the small  island community’s leader only, but must involved and participated by whole adult members of the small  island community. The process must be realized in communal formal meeting. This is the proper way for Creative Governance program to build Community base changable process, It means there must be a negotiation process rather than conducted.

Understanding Small Island Community dynamic life is the key for a Creative Governance program succeed. How the existence of permanent connection between the traditional small island community, the Creative Governance program, and national, province, regency/municipal regulation, and customary law  of the people. Also how existence of traditional small island community’s awareness toward national, province, regency/municipal programs.

Which means include the awareness of government and agencies toward cultural landscapes, traditional cultural properties, sacred sites and also the awareness toward constitutional existence of customary law community and the expectation for enhancing the small  island community ‘s welfare and prosperity.

Offcourse, there were may factors to considerize the  Creative Governance program such as kinds of important problems according to the relation of natural resources and traditional small island community livelihood, Legally Ownership Principle, Human Rights perspective emphasize the desires of the community “to do by them self” of “what they can do”, after “what they do know”.

It means the Creative Governance program capabilities icludes the autonomy and authority of such level on small islands region should be able to push capacities of small  island community, public sector and private sector to fulfill social prosperity and as a consequence, it require for each government in each level need broader authority in managing natural resources on land, coast and marine side.

There are elements that makes small  island community’s islands have so overwhelmingly sought to enhance their power, influence and capacity by developing distinct forms of asymmetrical autonomy small  island community’s islands are becoming increasingly illustrative of the creative governance program arrangements that many states have adopted in order to accommodate diversity.

Rabu, 06 Februari 2013

Welcome to Indonesia Minapolitan blog

fishermen only took shark finsWelcome to Indonesia Minapolitan blog. I invite audiences to participate and assume the Indonesia Minapolitan blog as our home to share knowledge, information and experience of the marine management sector. 

In Indonesia Minapolitan blog, we will explore many kind of things about the potential of Indonesia’s sea, Indonesia minapolitan development issues, the potential for marine tourism and also do not miss the efforts of the accelerated development of underdeveloped areas, border, coastal and small island that is still become one of important isue.

Great hope the Indonesia Minapolitan blog will inspire each of us to continuosly pursue initiatives of support the sustainability small island development and its preservation. The issue of construction of small islands and coral reef conservation has become an international issue and the attention of many people who come from different entities around the world.


I am also optimistic that one day Indonesia Minapolitan blog can become an online public central for dissemination, intermediation and constructive cooperation between government, business, academia and the general public to extend into marine observer community of nations. Nothing but more so that the issue of marine and development of Indonesia Minapolitan can be a bridge for more network expanding and collaboration opportunities for better Indonesia marine.

Selasa, 05 Februari 2013

Sekilas Talaud

Kabupaten Kepulauan Talaud. Beribukotakan Melonguane. Memiliki luas 1.251,02 km2 dan terbagi menjadi 8 kecamatan. Wilayahnya berbatasan dengan Negara Filipina di sebelah utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud di sebelah selatan, Laut Sulawesi di sebelah barat dan Samudera Pasifik di sebelah timur.

Berdasarkan penelitian dan bukti peninggalan sejarah yang tercatat di  pusat arkeologi nasional, Kepulauan Talaud sudah didiami manusia dan mempunyai peradaban yang cukup tinggi sejak 6000 tahun sebelum masehi. Di dalam manuskrip zaman kerajaan Majapahit wilayah ini merupakan bagian dari kerajaan Majapahit yang bernama Udamakatraya. Kepulauan tersebut dalam sebutan lamanya adalah Maleon (Karakelang), Sinduane (Salibabu), Tamarongge (Kabaruan), Batunampato (Kepulauan Nanusa) dan Tinonda adalah Miangas.

Asal usul penduduk Talaud berasal dari tempat lain yang datang melalui lautan, lalu menetap di daerah tersebut, mereka adalah: Ras Apapuang (yang paling awal), Ras yang berasal dari Saranggani, Mindanao Selatan; Ras dari daratan Merano, Mondanao Tengah, Ras dari Kepl. Sulu dan Ras dari Kedatuan Bowentehu + Manado Tua, dimana ras ini berasal dari Molibagu (Bolangitam).

Perdagangan barter dan sistim monopoli perdagangan rempah-rempah oleh negara-negara Eropa telah membentuk koloni-koloni perdagangan, termasuk di wilayah gugusan kepulauan Talaud. Bangsa Eropa yang pertama kali tiba diwilayah ini adalah bangsa Portugis di gantikan oleh Spanyol dan kemudian direbut oleh colonial Belanda. Talaud mempunyai komoditas penting bagi bangsa kolonial, yaitu pala.

Setelah Indonesia merdeka, kehidupan di Kepulauan Nanusa ini tidak banyak berubah. Talaud memiliki stereotype kelemahan klasik sebagaimana daerah pesisir kepulauan di Indonesia lainnya seperti, minimnya sarana infrastruktur, lemahnya SDM dan penyelenggaraan layanan publik, keterbatasan pasokan energi, dan kesulitan memenuhi skala ekonomi optimal karena jarak yang jauh sehingga Talaud terisolir. Sampai saat ini baru dua presiden RI yang pernah datang mengunjungi Talaud, yaitu presiden Suharto dan presiden Abdurrahman Wahid.

Sebagai daerah perbatasan, Talaud mempunyai peran strategis dalam penentuan batas territorial kedaulatan NKRI. Pulau Mianggas sebagai bagian dari gugus kepulauan Talaud terluar menjadi isu perbatasan penting. Sejak dulu pulau Mianggas menjadi rebutan bangsa – bangsa penjajah. Sengketa internasional antara Amerika Serikat dan Hindia Belanda berakhir dengan keputusan bahwa gugus kepulauan Talaud masuk ke dalam wilayah penjajahan Hindia Belanda. Dalam pengadilan Abitrase oleh seorang arbitrator mahkamah international Max Huber, telah ditetapkan dan diputuskan bahwa pulau Miangas adalah bagian dari pulau Talaud karena mereka yang mendiami pulau tersebut adalah berbahasa Talaud dalam pergaulan kehidupan sehari-harinya, yang dahulunya disebut Tinonda, seperti yang terungkap dalam syair lagu daerah Talaud, “Tutamandassa” yang di tulis oleh Johanis Vertinatus Gumolung (alm).

Talaud semenjak dulu dikenal sebagai kepulauan berpanorama indah, subur dan dihuni oleh masyarakat yang ramah dan relijius, sehingga Talaud dijuluki Parodisa yang artinya paradise atau surga. Kepulauan Talaud resmi berdiri pada tanggal 2 Juli 2002, dengan seorang pejabat negara Drs. F. Tumimbang, sebagai pejabat bupati kabupaten Kepulauan Talaud. Undang-undang No. 8 tahun 2002 telah menetapkan sebagai daerah otonom.

Minggu, 03 Februari 2013

Selamat datang di blog Indonesia Minapolitan

Selamat datang di blog Indonesia Minapolitan. Saya mengajak pembaca untuk berpartisipasi dan menganggap blog Indonesia Minapolitan sebagai rumah kita untuk berbagi pengetahuan, informasi dan pengalaman dalam pengelolaan dunia kelautan dan pembangunan Indonesia Minapolitan.

Di blog Indonesia Minapolitan Kita akan banyak menjelajahi berbagai hal tentang potensi kelautan Indonesia, isu pembangunan Indonesia minapolitan, potensi wisata bahari dan juga jangan dilewatkan berbagai upaya mengenai percepatan pembangunan daerah tertinggal, perbatasan, pesisir dan kepulauan kecil yang masih banyak dan masih harus menjadi isu pembangunan minapolitan di Indonesia

Harapan besar agar blog Indonesia Minapolitan ini dapat menginspirasi setiap orang dari kita untuk terus mengejar inisiatif yang mendukung keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil dan pelestarian nya. Isu pembangunan kepulauan kecil dan konservasi terumbu karang sudah menjadi isu internasional dan perhatian banyak pihak yang datang dari berbagai entitas di seluruh dunia.

Saya juga optimis dikemudian hari, blog Indonesia Minapolitan ini dapat menjadi ajang diseminasi, intermediasi dan kerjasama konstruktif antara pemerintah, sektor usaha, akademisi dan masyarakat pada umumnya hingga memperluas jangkauan menuju komunitas pemerhati  kelautan antar bangsa. Tidak lain dan tidak lebih agar isu kelautan dan pembangunan Indonesia Minapolitan ini dapat menjadi jembatan bagi kesempatan perluasan jaringan dan kerjasama untuk masa depan kelautan Indonesia yang lebih baik.